✔ Joko Widodo Mau Rombak Sistem Gaji, Kerja Dibayar Per Jam. Mau?

WWW.INFOKEMENDIKBUD.ONLINE _Upah alias honor menjadi perdebatan yang hampir terjadi setiap tahun di Indonesia. Biasanya debat itu memuncak pada November, ketika pemerintah mulai menetapkan upah minimum di banyak sekali daerah.

Pekerja tentu ingin upah yang layak untuk kehidupan yang lebih baik. Pekerja bukan sekadar faktor produksi.

Namun pengusaha tentu mengedepankan efisiensi. Tanpa efisiensi, yang ada ialah ekonomi biaya tinggi. Mana ada pengusaha yang mau sesuatu yang tidak efisien tetapi dihargai mahal?

Untuk mengatasi friksi pengupahan yang seolah tiada akhir, pemerintah merilis Peraturan Pemerintah No 78/2015 wacana Pengupahan. Beleid tersebut menetapkan formula kenaikan upah ialah inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Formula itu masih dipegang hingga sekarang.

Berdasarkan PP 78, Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) No B-M/308/HI.01.00/X/2019 menetapkan Upah Minimum Provinsi pada 2020 naik rata-rata 8,51% secara nasional . Angka 8,51% didapat dari angka inflasi September 2019 yaitu 3,39% year-on-year (YoY) plus pertumbuhan ekonomi 5,12%.

Namun baik buruh maupun dunia perjuangan tidak terima. Buruh menganggap masih terlalu rendah, sementara pengusaha ya sebaliknya.

Oleh sebab itu, pemerintah di bawah pemerintahan Presiden Jokowi melempar wacana untuk memasukkan urusan pengupahan ke undang-undang (UU) sapu jagat Omnibus Law. UU Omnibus Law rencananya akan menjadi payung besar bagi lebih dari 70 peraturan terkait investasi yang sudah ada.

Makara ke depan, investor tidak perlu pusing membolak-balik ratusan bahkan ribuan halaman dari banyak sekali aturan. Cukup merujuk ke Omnibus Law, semua niscaya beres. Semoga.


Dengan fungsinya sebagai UU segala ada, Omnibus Law tentu belum komplet jikalau belum memasukkan urusan pengupahan yang menciptakan gaduh setiap tahun. Kini, wacana yang berkembang ialah mengubah sistem pengupahan dari bulanan menjadi jam-jaman.

Upah per Jam Lazim di Negara Maju

Sistem bulanan ialah pekerja menerima honor tetap dengan nilai tertentu (plus embel-embel insentif). Pekerja yang tidak tidak masuk seminggu dalam sebulan pun menerima honor setara dengan mereka tidak pernah izin, mungkin yang membedakan ialah insentif harian.

Sedangkan upah per jam ialah honor yang diterima dihitung menurut jam kerja. Misalnya dalam sebulan bekerja 40 jam, maka honor per jam dikalikan 40 dan itulah upah yang diterima setiap bulan. Makara mereka yang tidak pernah izin bakal menerima honor lebih besar ketimbang yang sering absen.

Di Indonesia, upah per jam ialah barang yang asing. Namun di negara maju ibarat AS, upah per jam ialah hal yang lazim, bahkan menjadi indikator utama.

Pada November 2019, upah pekerja non-pertanian di Negeri Paman Sam ialah US$ 28,29 per jam. Naik 0,2% dibandingkan bulan sebelumnya dan 3,1% secara YoY.

Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) begitu memperhatikan data ini. Saat pertumbuhan upah melambat, berarti terlihat bahwa kegiatan produksi sedang lesu. Output berkurang, pertumbuhan ekonomi melambat, dan ini sanggup menjadi salah satu pertimbangan dalam pengambilan kebijakan moneter.

Inilah enaknya sistem upah per jam. Lebih rigid, lebih gampang dibaca, lebih terang untuk dianalisis.

Kala dunia perjuangan berniat mengurangi produksi, apakah itu jawaban konsolidasi internal perusahaan atau memang seruan secara umum sedang menurun, maka jam kerja karyawan akan dikurangi. Otomatis upah yang diterima pun lebih sedikit, sebab jam kerja yang lebih sedikit.

Ini Untungnya Menerapkan Upah Bulanan

Secara kasat mata memang sistem penggajian per jam lebih terang dan lebih adil, baik untuk pengusaha maupun pekerja. Pengusaha sanggup menjalankan bisnis dengan lebih efisien, dan pekerja menerima penghargaan sesuai dengan kontribusinya.

Namun ternyata buat pekerja, sistem ini agak memberatkan. Selama perusahaan terus menurunkan produksi alias output, maka upah yang didapat pekerja akan selalu minim.

Dalam situasi ibarat 2019, di mana output industrial terus menurun, maka kesejahteraan karyawan tentu akan ikut terpukul. Pada awal 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan indeks produksi industri Indonesia masih 8,55% YoY. Pada Oktober 2019, pertumbuhannya menyusut menjadi tinggal 4,72% YoY.

Pelambatan pertumbuhan berarti dunia perjuangan nasional memang sedang dalam tren mengurangi output. Jika Indonesia sudah menerapkan upah jam-jaman, maka ini akan menjadikan upah ikut turun.

Untungnya Indonesia masih memakai sistem upah bulanan, yang setiap tahun naik. Makara walau produktivitas perusahaan turun, upah karyawan tidak ikut terpangkas bahkan terus naik mengikuti PP 78.

Ini menjadi elemen penting dalam menjaga konsumsi rumah tangga tetap tumbuh. Konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Saat konsumsi rumah tangga terjaga, pertumbuhan ekonomi tidak akan mengalami hard landing meski perlambatan tidak sanggup terelakkan di tengah duduk kasus yang mendera ekspor dan investasi.

Sekarang bola ada di kaki pemerintah. Kira-kira mau menendang ke arah mana, tetap bulanan atau berubah ke jam-jaman?

Setiap pilihan tentu ada untung-ruginya. Tinggal ditimbang mana yang lebih banyak mendatangkan manfaat ketimbang mudarat.

Sumber : cnbcindonesia.com

Demikian info dan informasi terkini yang sanggup kami sampaikan. Silahkan like fanspage dan tetap kunjungi situs kami di WWW.INFOKEMENDIKBUD.ONLINE,  Kami senantiasa menunjukkan info dan informasi terupdate dan teraktual yang dilansir dari banyak sekali sumber terpercaya. Terima Kasih atas kunjungan anda agar informasi yang kami sampaikan ini bermanfaat.

Belum ada Komentar untuk "✔ Joko Widodo Mau Rombak Sistem Gaji, Kerja Dibayar Per Jam. Mau?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel