✔ Pak Nadiem, Menghafal Tidak Selalu Buruk, Apalagi Bagi Pendidikan Islam

WWW.INFOKEMENDIKBUD.ONLINE _Pak Nadiem, sepertinya ada yang salah dalam cara memahami hafalan dan berdasarkan bapak, dunia tidak lagi membutuhkan bawah umur yang andal menghafal.  Saya pun lantas bertanya, apa yang salah dari tradisi menghafal dalam pendidikan kita? Menurutku, bukan menghafalnya yang tidak boleh. Menghafal juga bukan kekurangan. Tidak ada yang salah darinya.

Saya ingin dongeng ihwal sekolah Islam, ihwal metode pendidikan di pesantren. Hampir tiap kali pelajaran ada kiprah untuk menghafal.  Saya sangat senang menghafal Nadzom Awamil, Amrithi hingga Alfiyah. Juga tasrifan dan qowa’idul i’lal, hukum-hukum dalam kaidah dan ushul fiqh, mantiq serta balaghah.

Sebagai orang yang tidak tahu apa-apa ihwal khazanah keilmuan Islam, saya sungguh senang karenanya “tersesat” di belantara pesantren. Dan, di pesantren–juga di forum pendidikan Islam lain, memang hafalan menjadi salah satu kunci.  Saya juga memang kadang tidak mengerti, kenapa saya di pesantren?

Yang niscaya saya amat senang menghapal syair yang berima indah. Seringkali kami  mendendangkan nadzom-nadzom (bait-bait) itu untuk terus mengingat. Sebelum kelas dimulai, ketika belajar, tengah malam, berdiri tidur, ataupun ketika antre mandi. Saya pun diajarkan untuk menghapal surat-surat dalam Quran, hadits-hadits, doa-doa harian, bacaan ritual dalam ibadah dan shalawat.

Tidak cukup hingga di situ, di sekolah, saya juga harus menghapal rumus-rumus matematika, teori-teori ilmu alam, tesis-tesis utama dalam ilmu sosial dan judul-judul sederet karya sastra terkenal.

Saya masih yakin hafalan-hafalan itu membantu saya memahami banyak hal hingga sekarang. Tapi berapa persen hapalan-hapalan itu yang sungguh-sungguh bermanfaat untuk kehidupan saya sehari-hari? Jujur mungkin teramat minim.

Nah yang membedakan adalah, di pesantren saya sanggup melihat realitas dari apa yang saya hafal. Meski tidak detil dan menyeluruh, citra ihwal bagaimana berislam dan mengaplikasikan keilmuan Islam itu saya peroleh dalam diri dan laris pribadi dari Ustadz dan Kiai saya.


Sebagaimana murid, saya amat menyayangi dan mengidolakan kiai saya di pesantren dulu. KH Yahya Masduqi, KH Syarief Hud Yahya, KH Muhaimin As’ad, KH Makhtum Hanan, KH Amrin Hanan, KH Tamam Kamali, KH Muntab, dan masih banyak lagi. Tentu saya juga mengidolakan banyak sekali kiai saya paska periode mesantren, terutama kiai-kiai progresif di ISIF, KH Husein Muhammad, KH Faqih Abdul Kodir, KH Marzuki Wahid, KH Sutejo Ibnu Pakar, KH Syakur Yasin, Dr. Opan Safari Hasyim, dan masih banyak lagi.

Bukan alasannya yakni teori-teori mereka tapi saya menyayangi lebih alasannya yakni kepribadian dan lakunya. Dan jujur, di sekolah, saya tidak mendapatinya. Saya mendapati etika dan perilaku itu justru dari laris keseharian para ulama.

Di situlah mungkin letak masalahnya. Sekolah kita sudah sedemikian penuh dengan hapalan tapi minim pemahaman. Memahami konsep abnormal tidak sanggup hanya dengan menghafal, tapi kita harus mencebur eksklusif ke realitas yang diwakili konsep tersebut.

Pada ketika kiai saya menjelaskan ihwal teori tafsir, ia mencontohkan bagaimana teori itu sanggup dipraktikkan dalam memaknai suatu ayat. Tidak cukup begitu, kiai juga menghadirkan pendapat-pendapat lainnya yang sama sekali berbeda. Tak ada pendapat yang benar mutlak dan tak ada pendapat yang salah sepenuhnya.

Para Ustadz dan Ulama  juga menjelaskan bagaimana realitas masyarakat muslim membumikan penafsiran tersebut. Beliau ini juga mengamalkan pengetahuannya itu di dalam kehidupan sehari-hari. Saya sebagai santri, hampir tiap hari sanggup memperhatikan keseharian (living life) dari belau. Dari situ, ilmu dan pemahaman atas realitas, juga ilmu benar-benar dipelajari. Saya bersyukur menerima banyak pemahaman darinya.

Konsep abnormal membekukan realitas, tapi kemudian para Ulama ini yang mencairkannya dengan amat lihai. Jujur, di sekolah, kita tidak menemukannya. Atau saya yang belum ketemu?

Menghafal tanpa memahami akan membunuh daya reflektif kita terhadap kehidupan nyata. Terlalu banyak menghafal dan meyakininya secara membabi buta, akan menghilangkan daya kreatif dan kritis kita terhadap realitas. Rumus, kode, konsep, teori, teks yang kita hapal yakni simbolisasi saja dari gejala-gejala kehidupan nyata.

Pertanyaannya, adakah teks yang benar-benar mewakili sepenuhnya realitas? Tidak ada. Selalu saja ada retak-retak. Bahkan ilmu eksak sekalipun, yang diyakini sebagai ilmu pasti, menyimpan lubang-lubang ketidakpastian. Fisika atom, hingga kini kuantum, membutuhkan lebih banyak imajinasi dibandingkan fakta empirik. Imajinasi bukan khayalan, ia yakni bentuk kreatif lain dari pemahaman.

Kaprikornus jika kita urutkan, dari mana persoalan kita hari ini bersumber. Yups, dari rendahnya literasi. Kegagalan memahami bahwa setiap kata tidak mewakili realitasnya secara penuh. Untuk memahaminya butuh lebih dari sekadar menghapal. Meyakininya secara buta akan melahirkan pikiran yang picik dan dangkal.

Rendahnya literasi sanggup menggiring kita ke arah konservatisme. Dengan daya dukung yang tepat, konservatisme sanggup menjadi radikalisme atau sanggup jadi terorisme. Jadi, saya setuju, pendidikan sebaiknya jangan cuma menghafal.

Sumber : islami.co

Demikian informasi dan informasi terkini yang sanggup kami sampaikan. Silahkan like fanspage dan tetap kunjungi situs kami di WWW.INFOKEMENDIKBUD.ONLINE,  Kami senantiasa memperlihatkan informasi dan informasi terupdate dan teraktual yang dilansir dari banyak sekali sumber terpercaya. Terima Kasih atas kunjungan anda supaya informasi yang kami sampaikan ini bermanfaat.

Belum ada Komentar untuk "✔ Pak Nadiem, Menghafal Tidak Selalu Buruk, Apalagi Bagi Pendidikan Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel